JAKARTA, SEPUCUKJAMBI.ID – Sekjen DPP PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, didakwa memberikan uang senilai 57.350 dolar Singapura atau setara Rp600 juta kepada Anggota KPU periode 2017-2022, Wahyu Setiawan, pada 2019-2020.
Uang tersebut diduga diberikan agar Wahyu mengupayakan pergantian antarwaktu (PAW) Calon Legislatif Terpilih Daerah Pemilihan (Dapil) Sumatera Selatan (Sumsel) I, yang sebelumnya memenangkan Riezky Aprilia, kepada tersangka Harun Masiku.
Jaksa KPK, Wawan Yunarwanto, mengungkapkan bahwa suap tersebut merupakan bagian dari upaya Hasto, bersama advokat Donny Tri Istiqomah, mantan terpidana kasus Harun Masiku, Saeful Bahri, dan Harun Masiku untuk memuluskan PAW tersebut.
“Perbuatan melawan hukum ini dilakukan terdakwa bersama-sama dengan beberapa pihak yang terlibat dalam kasus ini,” ujar JPU saat sidang pembacaan dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat (14/3).
Selain memberi suap, Hasto juga didakwa menghalangi penyidikan kasus korupsi yang menyeret Harun Masiku.
Hasto diduga memerintahkan Harun untuk merendam telepon genggamnya ke dalam air, melalui penjaga Rumah Aspirasi, Nur Hasan, sebagai tindakan pencegahan terhadap upaya paksa yang dilakukan penyidik KPK.
Perintah untuk merendam ponsel tersebut diduga dikeluarkan oleh Hasto setelah KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Wahyu Setiawan.
Hasto juga diduga memerintahkan ajudannya, Kusnadi, untuk menenggelamkan telepon genggam guna mengantisipasi penyidik KPK yang akan melakukan penyitaan.
Tindakannya ini membuat Hasto terancam pidana berdasarkan Pasal 21 dan Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 65 Ayat (1) dan Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Kasus ini berawal sebelum Pemilihan Umum (Pemilu) 2019, saat KPU menerima informasi bahwa Nazarudin Kiemas, calon legislatif DPR Dapil Sumsel I dari PDI Perjuangan, meninggal dunia pada 26 Maret 2019.
Berdasarkan informasi ini, KPU mengirimkan surat kepada DPP PDI Perjuangan yang kemudian mengonfirmasi kematian Nazarudin melalui surat tertanggal 11 April 2019.
Setelah itu, dilakukan pemungutan suara ulang dengan Riezky Aprilia yang memperoleh suara terbanyak.
Namun, Harun Masiku yang mendapat suara jauh lebih sedikit, hanya 5.878 suara, tetap diupayakan untuk menjadi anggota DPR. Pada 5 Agustus 2019, DPP PDI Perjuangan mengirimkan surat kepada KPU yang meminta agar suara dari calon yang meninggal dialihkan kepada Harun.
Pada 26 Agustus 2019, KPU menanggapi surat tersebut dengan menegaskan bahwa permohonan itu tidak dapat dipenuhi karena bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku.
Rangkaian pemberian suap dimulai pada 5 Desember 2019, saat Saeful bertanya kepada Agustiani Tio Fridelina mengenai biaya operasional yang diperlukan untuk memuluskan PAW Harun Masiku.
Agustiani kemudian menghubungi Wahyu Setiawan dan mereka sepakat untuk menyediakan dana sebesar Rp750 juta, yang kemudian disesuaikan menjadi Rp1 miliar.
Pada 17 Desember 2019, Agustiani bertemu dengan Saeful dan Wahyu untuk membicarakan permohonan bantuan.
Setelah itu, Saeful menyerahkan uang muka operasional sebesar 19 ribu dolar Singapura kepada Agustiani yang kemudian diteruskan kepada Wahyu.
Pada 26 Desember 2019, Agustiani kembali menerima uang tambahan sebesar 38.350 dolar Singapura untuk biaya operasional Wahyu.
Akhirnya, pada 8 Januari 2020, Wahyu menghubungi Agustiani untuk meminta tambahan uang sebesar Rp50 juta untuk mengganti biaya pertemuan sebelumnya.
Namun, saat itu, KPK mengamankan Wahyu, Agustiani, Saeful, dan Donny bersama uang sejumlah 38.350 dolar Singapura.
Hasto Kristiyanto kini menghadapi dakwaan yang bisa membuatnya terjerat dalam tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Proses hukum terhadap Hasto dan para pihak terkait dalam kasus ini akan terus berjalan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Dengan perkembangan kasus ini, masyarakat diharapkan dapat lebih memahami proses hukum yang sedang berlangsung dan pentingnya penegakan hukum yang adil dalam pemerintahan dan politik Indonesia.(*)
Tinggalkan Balasan