Akhirnya demokrasi tak lebih sebagai bancakan atau tong wadah hawa nafsu untuk menyandang status bertahta dan berharta.
Karena Tuhan dianggap tak memiliki peran sedikitpun dalam konsep dan praktek demokrasi, maka nilai-nilai moral tidak berlaku sama sekali.
Itulah sebabnya orang-orang yang berkarakter kebinatangan akan dengan gampang bisa bertengger diatas kursi-kursi kekuasaan demokrasi dan akan berbuat dan bertindak sesuka hati sebagai sosok pelacur birokrasi dan sebagai pengkhianat Pancasila khususnya terhadap Sila pertama yang dilakukan dengan cara menodai kesucian atau sakralnya Sumpah Jabatan, Tuhan saja ditipu apalagi sesama makhluk.
Dalam sistem demokrasi seperti itu setiap orang memiliki hak yang sama untuk memperoleh kekuasaan, dengan standart ukuran kemampuan dalam persaingan pasar gelap kekuasaan tanpa ada standar moralitas tertentu yang ditetapkan sebagai alat sosial kontol.
Akibatnya sistem ini telah berubah menjadi panggung sandiwara picisan ataupun ajang akrobat politik bagi hasrat birahi kebinatangan kekuasaan orang-orang yang mampu membeli suara rakyat.
Politik transaksional inilah yang kemudian mengkibatkan munculnya praktek korupsi oleh para pelacur birokrasi dan pengkhianat sumpah jabatan sebagai suatu cara untuk menutupi mahalnya biaya politik ketika berupaya mendapatkan indah dan empuk serta nyamannya kursi kekuasaan, yang selanjutnya diikuti dengan keinginan mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dari perdagangan kekuasaan yang telah dilakukan.
Secara otomatis dari sinilah demokrasi menjelma menjadi politik kleptokrasi yaitu penggunaan demokrasi untuk membentuk pemerintahan yang menyalahgunakan kekayaan dan lahan yang dimiliki publik untuk kepentingan diri atau kelompoknya sendiri.
Serta dengan standart ukuran kekuasaan pemerintahan Plutokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan yang mendasarkan suatu kekuasaan atas dasar kekayaan yang dimiliki.
Akhir dari pelaksanaan demokrasi ala pasar gelap tersebut akan menghasilkan demokrasi ala prinsip Homo Homini Lupus dengan ilustrasi yaitu manusia menjadi binatang buas bagi manusia lainnya. Dalam konteks quetos tersebut digambarkan sebagai Srigala sebagai simbol yang mewakili binatang buas.














Tinggalkan Balasan