Drama Internal PBNU, Gus Yahya Tegaskan Masih Sah Sebagai Ketum

JAKARTA, SEPUCUKJAMBI.ID – Konflik internal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memasuki babak baru setelah Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), dan Rais Aam PBNU, Miftachul Akhyar, saling mengklaim legitimasi kepemimpinan.

Gus Yahya menegaskan dirinya masih sah secara de jure dan de facto sebagai Ketum PBNU berdasarkan keputusan muktamar lima tahun lalu.

Ia juga menyatakan belum menerima dokumen resmi pemecatan.

“Saya masih sah sebagai Ketum secara de jure dan de facto. Penyelesaian sebaiknya melalui forum resmi, yakni muktamar,” ujarnya.

Di sisi lain, Rais Aam PBNU menegaskan bahwa Gus Yahya telah kehilangan status Ketum sejak 26 November 2025 pukul 00.45 WIB.

Keputusan ini berasal dari rapat harian Syuriyah PBNU pada 20 November 2025, yang menyebut beberapa kebijakan dan keterlibatan narasumber kontroversial dalam kaderisasi tinggi melanggar asas organisasi.

“Sejak keputusan itu, seluruh wewenang eksekutif berada di bawah Rais Aam,” kata Miftachul Akhyar.

Perbedaan pandangan soal legitimasi ini menimbulkan ketidakpastian di tubuh PBNU.

Rais Aam menekankan hak Syuriyah untuk memberhentikan Ketum jika dianggap melanggar nilai organisasi.

Sementara Gus Yahya menegaskan muktamar sebagai mekanisme tertinggi yang menentukan sah atau tidaknya seorang Ketum.

Situasi ini berdampak pada struktur pengurus wilayah NU (PWNU), beberapa di antaranya disebut sudah mendukung keputusan Rais Aam.

Hal ini memunculkan kebingungan bagi anggota dan masyarakat Nahdliyin terkait siapa pimpinan sah, yang bisa memengaruhi legitimasi PBNU dalam pengambilan keputusan keagamaan, sosial, dan politik.

Pengamat menilai konflik ini berpotensi memicu polarisasi internal dan fragmentasi jika tidak segera diselesaikan.

Gus Yahya telah mengajukan permintaan audiensi kepada Rais Aam, namun hingga kini belum ada tanggapan resmi.

Drama internal PBNU ini menjadi sorotan publik karena menyentuh prinsip prosedural dan tata kelola organisasi, yang selama ini dikenal dengan tradisi tabayyun dan ishlah.

Penyelesaian konflik ini menjadi perhatian seluruh anggota Nahdlatul Ulama dan masyarakat luas, mengingat PBNU merupakan salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia.(*)




Krisis Kepemimpinan PBNU! Gus Yahya vs Rais Aam Makin Panas

JAKARTA, SEPUCUKJAMBI.ID – Konflik internal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memasuki fase krusial setelah Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), dan Rais Aam PBNU, Miftachul Akhyar, saling mengklaim kepemimpinan sah.

erselisihan ini menimbulkan kebingungan publik dan berpotensi memengaruhi stabilitas organisasi.

Gus Yahya menegaskan dirinya masih sah menjabat sebagai Ketua Umum PBNU berdasarkan keputusan muktamar yang berlaku selama lima tahun.

Ia menyebut belum menerima dokumen resmi pemberhentian, sehingga keputusan yang beredar dianggap tidak sesuai prosedur.

“Saya masih sah sebagai Ketum secara de jure dan de facto,” tegasnya. Ia menambahkan bahwa penyelesaian konflik semestinya dilakukan melalui muktamar sebagai forum tertinggi organisasi.

Di sisi lain, Rais Aam PBNU, Miftachul Akhyar, menilai Gus Yahya sudah tidak lagi menjabat sejak 26 November 2025 pukul 00.45 WIB.

Keputusan itu diambil dalam rapat harian Syuriyah PBNU pada 20 November 2025, yang menilai sejumlah kebijakan dan kehadiran narasumber kontroversial dalam kaderisasi telah melanggar asas organisasi.

“Sejak keputusan itu keluar, seluruh wewenang eksekutif telah berada di bawah Rais Aam,” ujarnya.

Perbedaan klaim kepemimpinan membuat situasi PBNU tidak menentu.

Pihak Rais Aam menyatakan Syuriyah memiliki kewenangan untuk memberhentikan Ketua Umum jika dianggap melanggar nilai-nilai organisasi.

Namun, kubu Gus Yahya menegaskan bahwa muktamar adalah satu-satunya forum yang dapat menetapkan atau mencabut mandat ketum.

Dampak konflik ini terasa hingga pengurus wilayah (PWNU), sebagian di antaranya disebut telah mendukung keputusan Rais Aam.

Kondisi ini menimbulkan kebingungan di kalangan Nahdliyin terkait siapa yang memegang kepemimpinan sah, serta dapat mempengaruhi legitimasi PBNU dalam mengambil keputusan strategis di bidang keagamaan, sosial, maupun politik.

Para pengamat menilai konflik ini berpotensi menciptakan polarisasi dan fragmentasi internal bila tidak segera diselesaikan.

Gus Yahya telah mengajukan permintaan audiensi kepada Rais Aam, tetapi belum ada respons resmi.

Konflik ini menjadi perhatian publik karena menyangkut tata kelola PBNU dan prinsip tabayyun serta ishlah yang selama ini menjadi pedoman organisasi.

Penyelesaiannya dinilai krusial mengingat peran PBNU sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia.(*)




Keputusan Syuriyah Copot Gus Yahya Picu Polemik Besar di PBNU

JAKARTA, SEPUCUKJAMBI.ID – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) secara resmi mencabut jabatan Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya sebagai Ketua Umum PBNU mulai 26 November 2025.

Keputusan ini diumumkan melalui Surat Edaran Nomor 4785/PB.02/A.II.10.01/99/11/2025 yang ditandatangani Wakil Rais Aam PBNU Afifuddin Muhajir dan Katib PBNU Ahmad Tajul Mafakhir.

Dalam surat tersebut, disampaikan bahwa sejak pukul 00.45 WIB, seluruh wewenang dan hak Gus Yahya sebagai Ketua Umum dicabut.

Ia tidak lagi berwenang menggunakan atribut, fasilitas, maupun mewakili PBNU secara resmi.

Hingga ada keputusan lebih lanjut, seluruh fungsi kepemimpinan dialihkan kepada Rais Aam PBNU.

PBNU menjelaskan bahwa keputusan diambil berdasarkan rapat harian Syuriyah yang mengacu pada regulasi internal tentang pemberhentian fungsionaris serta pelimpahan tugas jabatan.

Pihak PBNU menyebut Gus Yahya telah membaca dan menerima risalah rapat sebelum keputusan disahkan.

Namun, Gus Yahya menolak keabsahan keputusan tersebut.

Menurutnya, pemberhentian Ketua Umum hanya dapat dilakukan melalui muktamar, bukan rapat harian Syuriyah.

Ia juga mempertanyakan validitas administrasi surat edaran, termasuk konsistensi nomor surat dan keabsahan stempel digital.

Keputusan ini memicu perdebatan internal. Sebagian pengurus menilai langkah PBNU sebagai bagian dari konsolidasi kepemimpinan, sementara pihak lain menganggap prosesnya tidak sesuai aturan.

Situasi ini menimbulkan ketidakpastian di tubuh PBNU dan membuka kemungkinan adanya konsolidasi ulang ataupun mekanisme penyelesaian melalui organ internal organisasi.

Dengan pencopotan Gus Yahya, PBNU memasuki fase transisi yang krusial.

Publik kini menunggu bagaimana langkah organisasi keagamaan terbesar di Indonesia tersebut dalam menata ulang struktur kepemimpinan dan menjaga stabilitas internal di tengah dinamika yang berkembang.(*)




Krisis Internal NU Memanas: Syuriyah PBNU Desak Gus Yahya Mundur, PWNU Berikan Dukungan Penuh

JAKARTA, SEPUCUKJAMBI.ID— Nahdlatul Ulama (NU) kembali diterpa gejolak internal setelah Rapat Harian Syuriyah PBNU pada 20 November 2025 mendesak Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) mundur atau diberhentikan dalam tiga hari.

Dari 53 anggota Syuriyah, sebanyak 37 hadir dan menyoroti dugaan pelanggaran nilai-nilai NU serta tata kelola keuangan organisasi.

Dalam rapat tersebut, Syuriyah menilai ada sejumlah persoalan serius, termasuk:

  • Dugaan pelanggaran hukum syariah dan ketidaksesuaian dengan Anggaran Rumah Tangga NU.
  • Isu tata kelola keuangan PBNU yang dinilai dapat membahayakan badan hukum organisasi.
  • Undangan kepada akademisi yang dianggap terkait jaringan Zionisme internasional dalam kegiatan Akademi Kepemimpinan Nasional NU (AKN NU).

Isu terakhir dinilai mencederai prinsip Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdliyah dan memicu kekhawatiran di internal NU.

Menanggapi desakan tersebut, Gus Yahya menegaskan bahwa masa jabatannya hasil Muktamar ke-34 NU berlaku lima tahun dan akan dijalankan penuh.

Ia juga mempertanyakan keaslian risalah rapat Syuriyah yang beredar, sembari menekankan penggunaan tanda tangan digital untuk memastikan keabsahan dokumen.

Di tengah tekanan Syuriyah PBNU, dukungan justru mengalir dari berbagai Pengurus Wilayah NU (PWNU) di seluruh Indonesia.

PWNU menolak desakan mundur dan berencana melakukan konsolidasi nasional untuk menyamakan pemahaman terkait polemik tersebut.

Sejumlah elemen NU angkat suara menanggapi krisis yang memanas ini.

Laskar Nahdliyin Yogyakarta menyatakan keprihatinan dan meminta Gus Yahya menyampaikan klarifikasi terbuka.

“Gus Yahya harus bertanggung jawab dan memberikan penjelasan terbuka atas kegaduhan di PBNU.”

Sementara Ketua PBNU Gus Ulil Abshar Abdalla mengimbau warga NU tidak terseret opini media sosial.

“Reaksi publik tidak selalu mencerminkan realitas organisasi. Kritik adalah bagian normal dari dinamika NU.”

Gus Yahya juga menegaskan bahwa isu politik maupun kunjungan kader NU ke Israel adalah inisiatif pribadi, bukan representasi institusi PBNU.

Hingga kini, Gus Yahya tetap menjabat. Ia menyatakan bahwa Syuriyah harian tidak memiliki kewenangan untuk memberhentikan Ketua Umum menurut AD/ART NU, sehingga desakan tersebut tidak sah.

Dalam pertemuan dengan seluruh Ketua PWNU se-Indonesia, Gus Yahya menerima dukungan penuh dan memberikan penjelasan menyeluruh.

Beberapa anggota Syuriyah bahkan disebut menyesali keputusan mendesaknya mundur karena merasa tidak memperoleh informasi secara lengkap.

Krisis ini mencerminkan ketegangan antara:

  • Kepemimpinan pusat vs. otoritas Syuriyah,
  • Aspirasi akar rumput vs. kebijakan elite,
  • Modernisasi organisasi vs. nilai tradisional pesantren.

Pengamat menilai keberhasilan Gus Yahya mempertahankan posisinya ditopang oleh pemahaman mendalam terhadap struktur NU, dukungan solid dari PWNU, serta pendekatan musyawarah bersama para kiai.

Meski desakan pemberhentian mereda, dinamika internal NU belum sepenuhnya usai.

Situasi ini menjadi ujian besar bagi NU dalam menjaga persatuan, legitimasi, dan arah organisasi di tengah perbedaan pandangan internal.

Jika kamu ingin, saya bisa buatkan meta title, meta description SEO, thumbnail caption, atau versi berita yang lebih singkat untuk media sosial.(*)