– Sinkronisasi Vertikal. Omnibus law daerah bisa menjadi instrumen penting untuk menyelaraskan perda dengan undang-undang pusat dan kebijakan nasional.
– Kepastian Hukum. Model ini mampu mengurangi disparitas aturan antar-daerah yang selama ini menimbulkan biaya tinggi bagi masyarakat dan pelaku usaha.
Namun, tantangan yuridis dan politiknya juga tidak bisa diabaikan:
– Tidak ada dasar hukum formal. UU P3 tidak mengakui omnibus law sebagai metode legislasi. Penerapannya di daerah tanpa revisi UU P3 akan berpotensi inkonstitusional.
– Kompleksitas substansi lokal. Tidak semua aturan dapat dengan mudah dikompilasi, sebab kebutuhan daerah berbeda-beda.
– Resistensi politik. DPRD, kepala daerah, dan kementerian terkait bisa saling tarik-menarik kepentingan jika tidak ada kerangka hukum yang jelas.
Karena itu, sebelum diterapkan di tingkat daerah, omnibus law harus lebih dahulu mendapatkan legitimasi melalui amandemen UU P3 atau peraturan pelaksana yang secara eksplisit mengatur metode ini. Tanpa itu, penerapan omnibus law di daerah hanya akan menjadi eksperimen hukum yang rapuh secara legal-formal.
Penutup
Gagasan omnibus law dalam pembentukan perda adalah langkah progresif untuk mengatasi hiper-regulasi di tingkat lokal. Namun, secara yuridis, mekanisme ini belum memiliki pijakan hukum yang kokoh.
Langkah awal yang perlu dilakukan bukan memaksakan omnibus law di daerah, melainkan mereformasi sistem legislasi nasional agar mengakui metode omnibus law sebagai bagian dari teknik pembentukan peraturan. Jika dasar hukum sudah jelas, barulah konsep ini bisa diterapkan di level daerah sebagai strategi deregulasi, harmonisasi hukum, dan pelayanan publik yang lebih baik.
Dengan begitu, cita-cita penyederhanaan regulasi melalui omnibus law tidak sekadar jargon, melainkan benar-benar menghadirkan kepastian hukum, efisiensi, serta keberpihakan pada kepentingan masyarakat luas.
[ Penulis Mahasiswi Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi ]. (*)
Tinggalkan Balasan